Sakcukupe; Petuah Bijak Orang Samin, Sedulur Sikep di Pati

Wong Samin, begitulah masyarakat biasa menyebut kelompok tradisional yang terdapat di Kabupaten Pati. Mereka sering di cap “suku pedalaman” karena tidak pernah mengikuti pendidikan formal, jauh dari teknologi dan hidup di bawah garis kemiskinan.

Namun kondisi Wong Samin tidak sepenuhnya sama seperti persepsi banyak orang. Di Pati misalnya, mereka tinggal di desa Sukolilo yang letaknya tidak jauh dari jalan raya. Rumah yang mereka tempati pun sama dengan masyarakat desa biasa, tak ada kesan bahwa mereka lebih “terbelakang”.

Sebenarnya istilah yang mereka akui adalah Sedulur Sikep, bukan Wong Samin. Gunretno, salah satu tokoh Sedulur Sikep di Pati mengatakan, “Tak ngertekno, saktemene pengakuan dulur-dulur iki Sedulur Sikep, Samin kuwi nama orang (Saya jelaskan, sebenarnya kami mengaku sebagai Sedulur Sikep, kalau Samin, itu nama orang)“. Kendati perilaku mereka terinspirasi dari Samin Surondiko, mereka tetap enggan menggunakan namanya.

Sedulur Sikep merupakan sebuah “tata cara” yang mengajarkan dasar laku sebagai pondasi kehidupan, seperti “aja dengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong” (dilarang berhati jahat, berkelahi, suka mendakwa, iri hati, dan mengambil milik orang). Sedulur Sikep berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko, tanpa memandang siapa lawan bicaranya.

Berbeda dengan orang Jawa pada umumnya yang menggunakan bahasa sesuai unggah-ungguhnya. Mereka berbicara dengan efektif, tidak suka berbasa-basi. Ketika berdialog mereka tidak suka mendahului sebelum diberi pertanyaan. Menjawab pertanyaan pun secukupnya saja, tidak melenceng jauh dari yang ditanyakan pada mereka. Tentunya mereka menjawab dengan bahasa Jawa ngoko, kendati pertanyaan disampaikan dalam bahasa Indonesia.

Salah satu hal yang unik tentang Sedulur Sikep yaitu mereka tidak makan dari hasil perdagangan. Penghasilan utama Sedulur Sikep adalah sektor pertanian, mereka menanam padi, jagung, dan berbagai macam sayuran. Hasil pertanian tersebut dipakai untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Jika membutuhkan bahan makanan lain, mereka melakukan barter dengan Sedulur Sikep lain.

Menyadari tidak semua barang bisa didapat dengan barter, hasil pertanian juga dijual untuk mendapatkan uang. Kemudian uang tersebut dipakai untuk membeli kebutuhan lain. Namun mereka tidak setuju jika itu dikatakan perdagangan. “Dagang kuwi yen tuku terus diadol meneh (perdagangan itu kalau beli lalu dijual lagi)”, kata Gunretno. Selama ini Sedulur Sikep memang hanya menjual hasil pertanian, hasil usaha mereka sendiri, bukan dari kulakan.

Yo warga kuwi mestine enek sing nulis, enek sing macul. Yen nulis kabeh, sing macul sopo? Opo-opo yen ora imbang opo iso? (warga itu mestinya ada yang menulis, ada yang mencangkul. Kalau menulis semua, yang mencangkul siapa? Apapun kalau tidak seimbang apa bisa berjalan baik)”, begitulah kiasan dari Gunretno.

Sedulur Sikep memang membatasi profesi mereka, sektor pertanian adalah pilihan hidup. Selain demi memenuhi kebutuhan harian, bertani merupakan salah satu wujud pengabdian mereka terhadap alam. Sedulur Sikep juga menolak berbagai bantuan dari pemerintah. Mereka tidak menerima bantuan itu karena merasa yang dimiliki sekarang sudah cukup untuk mereka, jadi lebih baik bantuan itu ditujukan kepada orang yang lebih membutuhkan. Inilah prinsip sakcukupe (secukupnya) ala Sedulur Sikep, sebuah pandangan hidup yang jarang ditemui di masyarakat modern. [PP]

Ditulis oleh Udji Kayang Aditya Supriyanto - Surakarta